Kementerian Keuangan menerbitkan aturan baru tentang
prosedur pelaporan transfer pricing. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
nomor 213/PMK.03/2016 diharapkan celah bagi perusahaan multinasional untuk
menghindari pajak makin sempit.
Skema harga transfer (transfer pricing) adalah upaya
menghindari pajak yang dilakukan perusahaan multinasional dengan cara
memindahkan keuntungan mereka ke perusahaan afiliasi di negara lain.
Modusnya, perusahaan multinasional A berpura-pura menjual
produk mereka dengan harga murah ke perusahaan B yang masih dalam satu grup.
Tagihan pembayaran pun dikirim ke perusahaan B. Selanjutnya perusahaan B
menjual produk itu ke pembeli sebenarnya, sebut saja pembeli Z.
Karena menjual dengan harga murah, perusahaan A akhirnya
cuma mencatatkan laba kecil di laporan keuangan. Dampaknya, tagihan pajak perusahaan A juga turun. Semua proses ini legal karena memang ada transaksi
jual-beli hitam di atas putih antara perusahaan A dengan perusahaan B.
Namun transaksi seperti ini adalah sebuah akal-akalan.
Karena tidak pernah ada pengiriman barang dari perusahaan A ke B. Barang
langsung dikirim dari perusahaan A ke pembeli Z.
Perusahaan B yang berlokasi di luar negeri cuma berfungsi
sebagai "pembeli antara". Uang hasil penjualan juga akan kembali lagi
ke perusahaan A.
Negara tempat perusahaan A berlokasi dirugikan karena
pembayaran pajak yang tidak sesuai. Tapi, negara tidak bisa berbuat apa-apa
karena semua proses jual-beli itu sah secara hukum.
Terlebih posisi perusahaan B berada di luar negeri,
hingga sulit untuk mengecek apakah ia perusahaan bodong atau bukan.
Padahal, biasanya perusahaan B cuma perusahaan plat nama.
Karyawannya pun bisa cuma empat orang. Tapi perusahaan mungil ini sering
mencatatkan laporan keuangan yang tidak masuk akal, misalnya sampai milyaran
rupiah, meski bisnisnya tidak jelas.
Perusahaan yang fungsinya hanya untuk memuluskan praktik
transfer pricing ini biasanya didirikan di negara-negara tax haven seperti
Singapura, British Virgin Island dan sebagainya.
Karakteristik manipulasi lewat transfer pricing yang
memanfaatkan celah hukum ini yang membuat aktivitas ini sulit dideteksi.
Aturan yang mencegah kebocoran penerimaan negara akibat
transfer pricing ini mengikuti tren yang sedang berkembang di dunia perpajakan
internasional, yaitu program Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang
dilancarkan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD
--Organization for Economic Cooperation and Development).
Pada 2014 lalu, OECD melancarkan program BEPS sebagai
upaya untuk mengatasi manipulasi pajak yang kerap dilakukan perusahaan
multinasional. Indonesia sebenarnya bukan anggota OECD. Namun, khusus untuk
program BEPS, Indonesia diundang untuk terlibat dalam proyek ini dan mendapat
status sebagai associate member.
Pembahasan mengenai upaya melawan transfer pricing
melalui penyertaan dokumen induk, laporan per negara, sebelumnya sudah dibahas
secara sangat mendalam di forum OECD.
Bahkan, syarat minimum bahwa ketiga dokumen itu hanya
berlaku bagi perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi di atas Rp 11
triliun, juga mengikuti OECD.
Indonesia bukan satu-satunya yang menerapkan syarat tiga
laporan itu. Semua negara yang terlibat dalam proyek BEPS juga mengadopsi
prosedur itu ke dalam sistem perundang-undangan mereka masing-masing.
Ini akan membuat celah perusahaan multinasional untuk
mengakali pajak akan makin sempit, mengingat keanggotaan OECD yang terdiri dari
35 negara.
Negara anggota BEPS yang menerapkan aturan transfer
pricing pada awal 2017 ini adalah Indonesia dan Malaysia. Sejumlah negara
anggota BEPS sudah lebih cepat beberapa bulan, misalnya Korea Selatan (Agustus
2016), India (Juni 2016), Jerman (Juli 2016) dan Cina (Juli 2016).
Ingin mengetahui update terbaru mengenai perkembangan akuntansi dan PKBL di Indonesia, ikuti Pelatihan Akuntansi dan PKBL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar