Sabtu, 11 Februari 2017

Pelaporan Transfer Pricing Mengatasi Kebocoran Penerimaan

Kementerian Keuangan menerbitkan aturan baru tentang prosedur pelaporan transfer pricing. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 213/PMK.03/2016 diharapkan celah bagi perusahaan multinasional untuk menghindari pajak makin sempit.



Skema harga transfer (transfer pricing) adalah upaya menghindari pajak yang dilakukan perusahaan multinasional dengan cara memindahkan keuntungan mereka ke perusahaan afiliasi di negara lain.

Modusnya, perusahaan multinasional A berpura-pura menjual produk mereka dengan harga murah ke perusahaan B yang masih dalam satu grup. Tagihan pembayaran pun dikirim ke perusahaan B. Selanjutnya perusahaan B menjual produk itu ke pembeli sebenarnya, sebut saja pembeli Z.

Karena menjual dengan harga murah, perusahaan A akhirnya cuma mencatatkan laba kecil di laporan keuangan. Dampaknya, tagihan pajak perusahaan A juga turun. Semua proses ini legal karena memang ada transaksi jual-beli hitam di atas putih antara perusahaan A dengan perusahaan B. 

Namun transaksi seperti ini adalah sebuah akal-akalan. Karena tidak pernah ada pengiriman barang dari perusahaan A ke B. Barang langsung dikirim dari perusahaan A ke pembeli Z.

Perusahaan B yang berlokasi di luar negeri cuma berfungsi sebagai "pembeli antara". Uang hasil penjualan juga akan kembali lagi ke perusahaan A.

Negara tempat perusahaan A berlokasi dirugikan karena pembayaran pajak yang tidak sesuai. Tapi, negara tidak bisa berbuat apa-apa karena semua proses jual-beli itu sah secara hukum.

Terlebih posisi perusahaan B berada di luar negeri, hingga sulit untuk mengecek apakah ia perusahaan bodong atau bukan.

Padahal, biasanya perusahaan B cuma perusahaan plat nama. Karyawannya pun bisa cuma empat orang. Tapi perusahaan mungil ini sering mencatatkan laporan keuangan yang tidak masuk akal, misalnya sampai milyaran rupiah, meski bisnisnya tidak jelas.

Perusahaan yang fungsinya hanya untuk memuluskan praktik transfer pricing ini biasanya didirikan di negara-negara tax haven seperti Singapura, British Virgin Island dan sebagainya.

Karakteristik manipulasi lewat transfer pricing yang memanfaatkan celah hukum ini yang membuat aktivitas ini sulit dideteksi.

Aturan yang mencegah kebocoran penerimaan negara akibat transfer pricing ini mengikuti tren yang sedang berkembang di dunia perpajakan internasional, yaitu program Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang dilancarkan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD --Organization for Economic Cooperation and Development).

Pada 2014 lalu, OECD melancarkan program BEPS sebagai upaya untuk mengatasi manipulasi pajak yang kerap dilakukan perusahaan multinasional. Indonesia sebenarnya bukan anggota OECD. Namun, khusus untuk program BEPS, Indonesia diundang untuk terlibat dalam proyek ini dan mendapat status sebagai associate member.

Pembahasan mengenai upaya melawan transfer pricing melalui penyertaan dokumen induk, laporan per negara, sebelumnya sudah dibahas secara sangat mendalam di forum OECD.

Bahkan, syarat minimum bahwa ketiga dokumen itu hanya berlaku bagi perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi di atas Rp 11 triliun, juga mengikuti OECD.

Indonesia bukan satu-satunya yang menerapkan syarat tiga laporan itu. Semua negara yang terlibat dalam proyek BEPS juga mengadopsi prosedur itu ke dalam sistem perundang-undangan mereka masing-masing.

Ini akan membuat celah perusahaan multinasional untuk mengakali pajak akan makin sempit, mengingat keanggotaan OECD yang terdiri dari 35 negara.


Negara anggota BEPS yang menerapkan aturan transfer pricing pada awal 2017 ini adalah Indonesia dan Malaysia. Sejumlah negara anggota BEPS sudah lebih cepat beberapa bulan, misalnya Korea Selatan (Agustus 2016), India (Juni 2016), Jerman (Juli 2016) dan Cina (Juli 2016).

Ingin mengetahui update terbaru mengenai perkembangan akuntansi dan PKBL di Indonesia, ikuti Pelatihan Akuntansi dan PKBL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar